Sabtu, 01 Februari 2014

JAM TANGAN (25 April 2011) #part-1



Masa SMA memang masa yang paling indah, paling berkesan, paling luar biasa. Saat itu kami kembali mengenang masa SMA dengan berkunjung ke sekolah kami di hari libur. Berkeliling melihat-lihat perubahan apa saja yang terjadi selepas kepergian kami. Sekolah yang asri dengan tanaman-tanaman yang indah dan pohon-pohon yang menyejukkan. 

Kami telusuri kelas-kelas yang menjadi tempat kenangan kami, kami telusuri kantin, toilet, ruang guru, dan tempat-tempat lain yang banyak menyimpan kenangan indah masa silam. Yaah.. tak terasa kami sudah kurang lebih 2 tahun menjadi alumni sekolah ini. Begitu banyak perubahan, menjadi lebih indah, lebih nyaman, lebih asri. Membuat para alumni iri karena dulu tak sekeren ini. Begitu pun yang aku, Gumi dan Dera rasakan saat ini.

Gumi dan Dera adalah dua sahabatku yang begitu banyak mengajarkan arti kehidupan, arti sebuah pertemanan, banyak menggoreskan tinta cerita dalam lembaran-lembaran buku kehidupanku. Gumi sang sosok kekanakkan dan Dera sang sosok kebapakan. Aku sayang keduanya, dua sosok yang berbeda tapi menjadi saling melengkapi saat dipertemukan. Aku suka sifat kekanakkannya Gumi dan aku butuh sikap kebapakan Dera. Dua sahabat yang benar-benar melengkapi hari-hariku.

Hal yang paling ku ingat saat SMA dulu, aku selalu menghabiskan waktu istirahatku untuk mencari dan memanen jambu kupa, tanaman hasil perkawinan silang antara pohon jambu dan pohon kupa –itu kata pak Didi guru biologi kami. Sebuah pohon yang menjulang tak begitu tinggi di depan kelas kami, aku yang pendek ini selalu meminta bantuan Gumi karena dia lebih tinggi. Ia selalu mau menolongku mengambilkan jambu kupa itu, ikut berseru riang saat kami berhasil dengan susah payah mengail bahkan kadang memanjat pohon ini. 

Dan Dera selalu memperhatikan kami dari jauh, menasehati dan memastikan kami tidak apa-apa. Benar-benar seperti seorang bapak yang begitu takut anaknya terjatuh. Setelah puas mengambil jambu-jambu kupa itu, kami dengan bangga membagikannya pada siapa saja yang mau mencoba buah ini. Tak terkecuali Dera, tentu saja ia selalu menjadi orang pertama yang kami tawari. Sebuah kenangan yang indah.

Hari ini, seolah kejadian itu terputar kembali di memori otakku saat aku melihat pohon jambu kupa yang masih kokoh berdiri di depan kelas kami itu. Lalu kami saling berpandangan dan tersenyum satu sama lain, saling tahu apa yang sedang dipikirkan –mengingat kejadian yang begitu konyol itu. Lalu kami memasuki kelas kami yang dulu –kebetulan pintunya tak dikunci. Kami lihat disana banyak yang berubah, namun bagaimana pun kelas ini masih menyisakan nuansa kelas kami yang dulu. 

Kami ingat Bu Nana guru kimia yang selalu menyuruh muridnya ke depan kelas untuk mengerjakan soal-soal yang beliau berikan, menyuruh muridnya untuk membuka buku dengan halaman yang beliau sebutkan, memanggil satu persatu nama muridnya untuk membacakan dengan suara tegas halaman tersebut. Yaah.. saat memasuki kembali kelas ini, semua memori kenangan masa silam terputar dengan sendirinya, ada rindu yang menelisik dalam hati. Kangeeeen… ingin kembali ke masa lalu rasanya.

Setelah puas menelusuri tempat-tempat yang menjadi kenangan, kami beranjak pergi menuju bengkel untuk mengambil motor Dera yang baru saja di cuci. Sesampainya disana Dera langsung memberikan beberapa rupiah pada sang montir, lalu menyuruh kami (aku dan Gumi) untuk pergi ke rumahnya duluan. Karena ga mungkin kita naik motor bertiga. 

Akupun berjalan di samping Gumi dan pergilah kami menuju rumah Dera. Setelah beberapa langkah berjalan, aku merasa jalan menuju rumah Dera dulu bukanlah kesini, apa rumah Dera sudah pindah? Karena ragu akupun bertanya pada Gumi “Gum, emang lewat sini yah rumah Dera?”. “lha? Iya kan kalo ga salah? Ato salah yah..? waduh aku juga lupa.”, jawab Gumi bingung. “waah.. kita salah jalan nih! Kayanya kesana deh”, seruku yang ikutan bingung. Lalu kami pun memutar arah, dan dengan susah payah memutar kembali memori otak, mencoba mengingat jalan mana yang harus ditempuh untuk sampai ke rumah Dera, dan akhirnya kami pun sampai.

Sampai di rumah Dera, kami nonton TV. Tapi acara TV seolah hanya menjadi formalitas, agar suasana rumah tidak terlalu sepi. Kami bertiga malah asik mengobrol dan membiarkan televisi mengoceh sendirian. Kami ingin pergi jalan-jalan sebenarnya, tapi karena hujan, jadi kami terjebak di sini. Beberapa saat kemudian, tanpa diminta Dera langsung beranjak ke dapur dan membawakan kami minum dan cemilan. Tanpa menunggu di persilakan, aku dan Gumi langsung menyantap jeruk dan pudding yang disediakan Dera di atas meja. Kami menunggu hujan reda sambil ngemil. 

Cemilan habis, namun hujan tak kunjung reda. Kebosanan mulai menyergap. Gumi beranjak menuju ruangan play station untuk bermain bersama adiknya Dera –yang dari tadi asik bermain sendirian. Tinggalah aku berdua dengan Dera di ruang tengah. Dua hari yang lalu Dera ulang tahun, dan aku membawa kado untuknya sekarang. Tapi bingung untuk memberikannya, mengingat disini ada Gumi –meskipun dia sedang asik bermain PS. 

Aku ga mau Gumi menganggapku pilih kasih, ato ngambek gara-gara waktu dia ulang tahun aku tak memberikan kado apapun. Tapi akhirnya kuberanikan diri untuk memberikan kado ini pada Dera. Berharap ia langsung menyimpannya ke kamar dan membukanya nanti saat aku dan Gumi sudah pergi dari sini.

Tapi tanpa diduga Dera langsung membuka bungkusan kado itu di hadapanku, dan entah mengapa Gumi pun tiba-tiba berhenti bermain PS, dan beranjak ke ruang tengah, lalu dengan diam menyaksikan Dera membuka bungkusan kado itu. Usai membukanya, Dera pun langsung mengucapkan terimakasih dan mengundang sebuah pertanyaan (dari Gumi) itu hadir “lo yang ngasih Ghis?”. Sebuah pertanyaan simple, namun seolah menusukku bagai sebuah pertanyaan ‘kok waktu gue ulang tahun lo ga ngasih apa-apa?’. Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu. 

Terlihat seraut kekecewaan di wajah kekanakkannya itu, namun ia tutupi dengan sebuah kegirangan “ciie.. selamat ulang tahun ya Der. Waah jam tangannya bagus banget yah”. Dera tak menanggapi perkataan Gumi, ia malah bertanya padaku “berapaan sih ini Ghis..? pasti mahal yah?”. Dan aku hanya berkata “ada deh..” seraya tersenyum girang karena jam tangan pilihanku –yang tidak terlalu mahal itu terlihat begitu elegan dan mahal.
***
-to be continued-

1 komentar:

  1. ciyee Dera ulang tahun dapet jam tangan yah.. jadi inget kado tahun lalu dapat jam tangan digital .. :>

    BalasHapus